Rabu, 16 April 2014

Seputar Sisingamangaraja XII dan Nomensen


Sisingamangaraja XII dan Nommensen : 2. Diantara Harga Diri Dan Takdir Bangsa Batak

Jadi tulisan sebelumnya sudah secara singkat menulis bagaimana Misi Nommensen bisa mengahiri Kebudayaan dan Peradaban yang dipercaya adalah yang terbaik yang pasti merupakan harga diri dan kehormatan Bangsa Batak.

Contoh kecil saja pengobatan ala medis yang dikenalkan Nommensen sudah sangat ampuh mempengaruhi opini masyarakat akan pengobatan tradisional lewat Datu, dimana Datu dalam melalukan ikut harus melakukan sebuah Ritual sementara Nommensen hanya memberi minum obat.
Maka wajarlah Sisingamangara XII akan melakukan segala upaya untuk membela harkat, martabat kaumnya yang dirasa akan dihancurkan oleh Misi Zending RMG (Nommensen). Siapapun orang orang yang menghargai Bangsa dan Negaranya akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Sisingamangaraja.

Disisi lain Nommensen juga punya Misi untuk menyampaikan Kabar Baik, misi yang dia akan anggap membawa perubahan dan merupakah kewajiban dari keyakinannya untuk menyampaikan itu, Jadi Misi Zending RMG untuk meng-Kristen Batak agar tidak lebih dulu lebih dulu di Islamkan oleh Aceh atau Minang (Sesuai buku Uli Kozok: Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba) untuk membuat ada pemisah antara Islam Aceh dan Islam Minang adalah hal lumrah untuk keyakinan semua agama. Konyol untuk mempermasalahkan ini.

Dalam catatan Perjalan Fernand Mendez Pinto (The voyages and adventures of Fernand Mendez Pinto. Done into Engl. by H.C yang terbit tahun 1653, Pinto mencatat bahwa ketika utusan Raja Batak bernama Aquareem Dabolay saat hendak pulang ke Tanah Batak telah berdoa dengan mengangkat tangannya di Depan Gereja di Malaka mengatasnamakan Bangsa Batak akan setia Pada Allah/Tuhan Portugal dan akan membangun “Candi” (Gereja) di tanah Batak,  setelah mendapat Jaminan Persenjataan dan Perlengkapan untuk melawan Aceh dari Kapten Portuga di Malaka yang baru di jabat waktu itu oleh Pedro de Paris.
Selanjutnya Saat Pinto mengunjungi Tanah Batak sesaat sebelum bertemu Raja Batak Angeessery Timorraia (Anggi Sori Timoraya – penulis), seorang wanita tua menyambutnya dan berkata juga padanya : “………sejak harapan yang kita miliki dalam Tuhan yang sama membuat kita percaya bahwa ia akan mempertahankan kita semua bersama-sama sampai akhir dunia”.

Dua orang Bangsa Batak di tahun 1539 di dua tempat berbeda telah mengakui (bisa jadi sebuah harapan) untuk mengabdi pada Tuhan Bangsa Portugal.

Paska kejatuhan Kerajaan Batak ketangan Kerajaan Aceh tahun 1539 sesui Surat Sultan Aceh, Nomenson yang Mulia misinya di Sumatera tahun 1862, jadi ada jeda sekitar 323 Tahun mulainya misi memenuhi Doa dan Harapan kedua Orang Batak diatas.

Nommesen seperti pemenuhan takdir seperti yang diharapkan Nenek Moyang kita.

Sumber : batak.web.id 


Sisingamangaraja XII dan Nommensen : 1. Dua Kutup Magnet yang Berlawanan

Sampai hari ini banyak sekali orang yang menurut Prof. Uli Kozok mencoba mendamaikan Sisingamangarja XII dan Nommensen.

Sisingamangaraja adalah Pandeta Raja (Highest Priest) menurut pihak luar, yang secara geneologis adalah bermarga Sinambela, yang membawahi beberapa Parbaringin (Para Pendeta Batak), dimana Parbaringin membawahi Beberapa Bius (Yang di Pimpim oleh Raja Bius yang merupakan Pemilik Ulayat dan Turun Temurun), Dan Bius adalah gabungan beberapa Huta sebagai Unit terkecil. Dan Huta adalah Kampung yang berbenteng. Begitulah Struktur Pemerintahan Masyarakat Batak Toba menurut Sitor Situmorang (Toba Na Sae).

Sebagai Pandeta Raja tentunya Sisingamangaraja adalah pemimpin tertinggi dan sering mengakui diri sebagai Raja Batak. Meski posisi Imam tertingilah dipercaya sebagai jabatannya di kelompok Sumba (Keturunan Raja Isumbaon Putra Kedua Si Raja Batak).

Sementara meski tidak mengambil posisi Rivalitas dalam kelompok Lontung juga Punya Imam Tertinggi (Highest Priest) Bernaman Ompu Palti Raja yang secara geneologis adalah bermarga Sinaga Bonor Pande hal ini tercatat dalam sebuah dokumen Majalah berbahasa Belanda berjudul Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap, halaman 423, terbit tahun 1896, begitu jugalah yang dicatat Sitor Situmorang dan sejarah rivalitas dari Sisingamangaraja I dengan Ompu Palti Raja I sampai dengan Sisingamangara XII dengan Ompu Palti Raja XII.  

Sedangkan Nommensen adalah Seorang Misionaris Kristen yang ingin membawa Kabar Baik untuk masyarakat Batak.

Dalam hal misi dan kepentingan yang diemban tentu banyak pertentangan tajam antara Agama Asli Batak dengan Agama Kristen, keduanya sering berhadap-hadapan hingga hari ini, sehingga ada beberapa Pengikut Kristen yang katakanlah “keras”, sangat menentang bukan hanya adat Batak tetapi pemakaian Ulos/Hiou/Uis Gara yang merupakah pakaian Nenek Moyang Batak juga dianggap sebagai bagian dari penyembahan berhala.

Sisingamangara dalam agama Batak dulu dan pengikut parmalim Sekarang dianggap sebagai Dewaraja. Dia diagungkan sebagai Dewa sehingga itulah ada lagu-lagu dalam agama Parmalim yang memuji-muji dan memuliakan Sisingamangaraja.

Pemujaan Sisingamangara tentu sangat bertentangan dengan keimanan seorang Kristen, karena hanya Allah saja yang Patut di sembah begitulah doktrin dalam Agama Kristen.

Jadi dari segi logika apapun pada saat dulu Sisingamangara sebagai Dewaraja atau pihak luar menyebut Pandeta Raja (Highest Priest) dan nommensen yang Misi Zendingnya tentu akan akan berhadapan.
Kesuksesan Misi Zending nommensen adalah akhir kejayaan dari agama Parmalim, Kesuksesan Misi Zending nommensen adalah akhir dari kekuasaan Sisingamangaraja dan bisa lebih parah lagi anggapan waktu itu yakni Kesuksesan dari Misi Zending nommensen adalah akhir dari Bangsa Batak.

Masihkan mungkin nommensen berdamai dengan Sisingamangara XII?

Sumber : batak.web.id

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar