Sabtu, 19 April 2014

Adat Batak : Sebuah Perjalanan Panjang tentang Seni Kehidupan



Adat Batak : Sebuah Perjalanan Panjang tentang Seni Kehidupan

Adat bukan hanya pakaian (ulos, Hiou, Uis Gara) atau tarian (Tortor, Landek) atau seromoni (pesta Kelahiran, perkawinan, Kematian dan lain-lain), hal-hal itu dan seperti itu adalah perlengkapan atau kelengkapan atau bisa kita sebut perangkat atau bagian dari adat itu sendiri.

Adat sejatinya adalah seni/teknik dalam mengarungi kehidupan yang telah di sepakati oleh pendahulu kita, yang diwariskan/diturunkan untuk kita pelajari, ikuti ataupun di rubah sesai jika memang harus mengikuti perkembangan jaman, agar kita bisa bertahan, bersaing dan berhasil dalam mengarungi kehidupan yang dinamis ini, tetapi semangat dan Jati Diri Adat tadi tidaklah boleh hilang. Adat adalah desahan nafas. Jati diri kita adalah gambaran sejati adat yang kita ikuti.

Adat adalah seni/teknik kehidupan. Seni/teknik yang gagal tidak akan meninggalkan bekas atau musnah dan seni yang  berhasil akan bertahan dan dibanggakan oleh kaumnya, disegani dan diakui kaum lainnya. Kesuksesan Adat yang terkadang tampil sebagai hukum sosial yang mengikat dapat dilihat dari bagaimana posisi tawar dari kaum itu dalam lingkup pergaulan sosial.

Adat Batak adalah seni bertahan dan berjuang dalam segala aspek kehidupan orang batak, sehingga masyarakat Batak bisa bertahan dan eksis dalam kehidupan sampai hari ini.

Masyarakat yang bangga dengan marganya, bangga dengan kulturnya, bangga dengan tariannya, bangga dengan busana tradisional (yang terkenal kasar itu), bangga dengan bahasanya, karena Adat Batak itu benar-benar mampu membuat mereka yang memakainya mampu melangkah, berjuang, bertahan dan muncul ke permukaan.

Jauh dulu sebelum runtuhnya Kerajaan Batak, Fernand Mendez Pinto yang mengunjungi Pusat Kerajaan Batak yang di sebut Pananiu (Panaiu) tahun 1939,  yang menurut catatannya ada di sisi lain dari laut mediterania (Selat Malaka – Penulis). 

Dia yang datang diundang oleh Raja Batak bernama Angeessery Timorraia (Anggi Sori Timoraya – penulis) yang sebelumnya telah mengutus iparnya bernama Aquareem Dabolay membawa sepucuk surat Raja Batak yang ditulis pada kulit pohon Palem, ke Malaka ditengah keresahan akan gempuran tentara Aceh yang merupakan perpanjangan Tangan Kekaisaran terbesar di dunia saat itu yaitu kesultanan Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah - Turki saat ini), yang sudah merebut dua tempat Penting Kerajaan Batak yaitu Jacur (Nagur) dan Lingua (Lingga - Benteng Putri Hijau?).

Pinto mencatat, setelah utusan Raja Batak itu (yang merupakan Iparnya) sudah tujuh belas hari bersama di Malaka, Pedro de Paris yang baru menjabat Kapten di Malaka saat itu pun mengucapkan perpisahan, setelah menjamin persenjataan dan perlengkapan yang di minta akan diberikan, Sang duta Besar Aquareem Dabolay meninggalkan Benteng dengan sangat puas, ia meneteskan air mata saking gembiranya. Ditulis Pinto : ketika Utusan Raja Batak ini melewari Pintu Besar Gereja, dia memutar ke arah Gereja itu, dengan tangan dan mata angkat ke Surga (langit-penulis), dan kemudian disitu dia berdoa kepada Tuhan. “Tuhan yang Mahakuasa” katanya membuka doanya. “Yang bertahta dan hidup dalam sukacita besar, Yang duduk diatas harta kekayaan yang berlimpah, semangat jiwa yang di bentuk oleh-Mu, di sini aku berjanji kepada-Mu, akan menjadi kegembiraan yang baik jika Engkau berkenan memberikan kemenangan atas tirani Aceh dan mendapatkan kembali kemenangan itu dari Raja Aceh, dari pengkhianat terkenal seperti dia yang telah mengambil dua tempat dari kami yaitu Jacur dan Lingua. Kami akan selalu setia dan tulus mengakui engkau menurut dengan Hukum Portugal, dan menurut kejujuran suci, yang terdiri dari semua Seni keselamatan yang lahir di Dunia. Selanjutnya, di Negara kami akan membangun Candi adil kepada-Mu, wangi dengan bau manis, Dimana semua jiwa hidup wajib sambil berlutut memuja Engkau, seperti yang selalu berlaku dan dilakukan untuk-Mu saat ini ini di Tanah Portugal dan dengarlah selain aku berjanji dan bersumpah kepada-Mu dengan semua keyakinan dari hamba yang baik dan setia bahwa Raja Guruku tidak akan pernah mengakui setiap Raja lain dari Raja Portugal yang besar, yang kini Tuan di Malaka”
Selanjutnya dia masuk ke Perahu dan kembali ke Tanah Batak. Cat.: sedikit gambaran memang terbersit akan ketidaktahuan bahwa Portugal sampai ke Malaka adalah atas Perintah Paus.

Pinto mencatat, Saat dia tiba di Pananaiu (Panaiu), Ketika dia hendak masuk ke istana Raja Batak untuk menjumpai Raja Batak di pusat Kerajaan Batak bernama Pananiu/Panaiu (apakah pusat ini adalah paska Jatuhnya “Jacur” (Pen-Nagur) dan Lingua (Pen-Lingga), dengan melalui lapangan pertama, di pintu masuk kedua Pinto menemukan seorang wanita tua, disertai dengan orang-orang lain yang jauh lebih mulia, dan lebih baik dan sejajar, orang-orang  berbaris di depannya, yang memberikan dia sinyal dengan tangannya, seolah-olah dia telah memerintahkan dia untuk masuk.

“Lelaki dari Malaka” kata wanita itu pada Pinto, “Kedatangan-mu di tanah Raja pemilik tanah kami adalah menyenangkan hatinya, seperti siraman hujan pada tanaman padi dalam cuaca kering dan panas, oleh karena itu masuklah dengan berani, dan jangan takut, untuk Rakyat, yang dengan kebaikan Tuhan kaulihat di sini, yang tak lain adalah negaramu sendiri, sejak harapan yang kita miliki dalam Tuhan yang sama membuat kita percaya bahwa ia akan mempertahankan kita semua bersama-sama sampai akhir dunia” lanjutnya. Adakah ini ungkapan akan kekawatiran besar akan Aceh, sekaligus sebuah rasa percaya bangsa Tuhan tidak akan memusnahkan Bangsa ini? Bisa jadi, tapi lihatlah betapa bernilainya ucapan Ompung/Nini itu. Masih menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan Tuhan yang Sama? Apakah wanita Tua itu adalah seorang Kristen ditengah Bangsa Batak yang rajanya sendiri masih menyembah Dewa yang disebut “Quiay Hocombinor”, “Ginnasserod (Dewa Kesedihan) (Pinto 1539) ? Dan engingat sudah ada gereja abad ke 7 masehi di Barus (Barus Seribu Tahun lalu).

Inilah sekelumit kisah nyata saat-saat sebelum runtuhnya Kerajaan Batak di tangan Kesultanan Aceh yang dicatat oleh Fernand Mendez Pinto.

Kerajaan Batak itu nyata dan ada tercatat dengan Jelas oleh Fernand Mendez Pinto dan Tomi Pires. Dan cukup aneh memang bahwa semua yang menulis kerajaan di Sumatra Mengutip Pinto dan Pires tetapi seperti "menghilangkan" Kerajaan Batak.

Lalu kenapa tidak ada Raja yang berkuasa absolute di Kerajaan Batak seperti daerah lain? Ada bebarapa kerajaan yang berdiri saat Belanda masih berkuasa di Sumatera, tapi sepertinya sebelum masuknya Belanda dan menguasai sebagain Tanah Batak ditandai dengan takluknya Raja-Raja, di kedua daerah ini belumlah memiliki perlengkapan untuk berdiri sebagaimana seharusnya sebuah kerajaan (merujuk pada catatan John Anderson, Mission to East Cost of Sumatra : 1826).

Dalam hal ini masih belum didapat bukti  valid tentang hubungan Raja Batak dalam Tarombo Toba dengan Raja Batak dalam yang ditemuai Pinto. Tetapi dengan mengikuti adat yang meniadakan Raja sesungguhnya Bangsa Batak malah bisa bertahan dengan dan menjadi salah satu suku Bangsa terkemuka di Indonesia saat ini lebih dari Aceh yang dulu didukung kesultanan terbesar dunia kesultanan Turki Ottoman dan juga goyang akibat runtuhnya Kesultanan ini. Ataukah ini juga adalah bentuk tekanan Aceh untuk menghindari Pembalasan, sehingga memaksa leluhur  batak untuk memutar otak mencari bentuk sejati yang selanjutnya kita sebut adat untuk bertahannya Bangsa Batak ini? Masih perlu penelusuran.

Jadi saat ini saya berani beretorika apa yang saya sebut Pengungsian ke Pusuk Buhit adalah sebuah produk Revolusi Budaya (Adat) yang membuat semua Masyarakat Batak mempunyai kedudukan yang relative sama dan akan pernah mengalami semua posisi dalam istilah Dalian Na Tolu (Angkola, Mandailing, Toba) atau di kenal dengan Rakut Sitelu (Karo), Daliken Sitelu (Pakpak) atau  Tolu Sahundulan (Simalungun).

Pengungsian dalam artian pegasingan diri untuk lebih menata kehidupan, karena harusnya secara fakta sudah ada manusia ribuan Tahun lalu di seputaran danau Toba sebagai petani Kemenyan (Tambak Hamijon) dan Kapur Barus yang memang tidak bisa tumbuh dan menghasilkan kwalitas dunia ditempat lain.

Dalam struktur Masyarakat Batak Modern Raja tetaplah di pertahankan dimana Posisi diambil alih oleh Hula-Hula (Toba) atau Mora (Angkola, Mandailing) atau Kalingbubu (Karo) atau Kula-Kula (Pakpak) atau Tondong (Simalungun), bahkan menjadi lebih tinggi karena posisi ini dianggap sebagai Tuhan yang kelihatan (Debata/Naibata Na I idah atau Dibata si idah), meski agak rancu dengan kenyataan adanya posisi raja sesungguhnya di Simalungun yang berawal dari Raja Maropat ke Raja Marpitu yang eksistensinya mendapat pengakuan dari Belanda melalui Kontrak Pendek.

Dalam Toba Na Sae, Sitor Situmorang juga menulis dengan gamblang bahwa Sisingamangaraja adalah Pemimpin tertinggi tetapi bukanlah Raja sebenarnya, dia hanya Raja di daerah Bius Bakkara (Bius adalah kumpulan beberapa Huta - Kampung). Umumnya ada kesepakatan bahwa posisinya adalah Pandeta Raja (Highest Priest) Golongan Sumba, disamping itu ada Palti Raja Pandeta Raja Golongan Lontung dan Jonggi Manaor Pandeta Raja Naimarata (Keturunan Guru Teteabulan tidak termasuk Lontung).

Ketiga daerah ini bukan dibatasi oleh tapal batas territory tetapi tapal batasnya menjadi bias karena wilayahnya adalah wilayah geneology dengan keterikatan emosional dan sosial.

Tapi posisi itu bukan alasan untuk tidak menghormati hula-hula. Sitor mencatat bahwa pada saat Sisingamangaraja XII mengungsi kearah perkampungan mertuanya (Hula-hula) yaitu Lintong Ni Huta (kampung Marga Situmorang) dia tidak tinggal di dalam Kampung akan tetapi dia membuat tempat (sejenis tenda) di luar perkampungan. Begitulah tingginya posisi Keluarga Mertua (hula-hula) sehingga seorang tokoh besar dan kuat itu masih tidak berkutik atas otoritas Raja Situmorang (Raja Bius/Kampung) yang merupakan mertuanya (Hula-Hulanya).

Dalam kehidupan Masyarakat (Adat Batak) maka semua orang mempunyai posisi, yang otomatis akan mengetahui dimana posisinya dalam horja/kerja adat itu, posisi itu berubah tergantung pada tempat dan waktu yang sesuai. Saat seorang Batak berada dalam satu tempat dan masa maka seyogianya dia tahu harus duduk diman dan harus tahu apa yang diperbuat/dikerjakan.

Dalam dalam pelaksanaannya semua sebenarnya adalah kesadaraan untuk kepentingan bersama yang bernama semboyan Dos Ni Roha, Riah Ni Uhur, Sada Arih/Sada Ukur dan lainnya yang menunjukkan betapa tingginya peradaban Batak mengedepankan musyawarah mufakat dalam mencampai kata sepakat. Jadi Sila Keampat Pancasila itu juga adalah salah satu perwujudan Adat Batak.

Hal di atas hanyalah aspek garis besar dalam kehidupan Adat Batak, masih banyak hal-hal yang lebih detail yang telah mampu membuat semua Masyarakat Batak eksis dan mampu mengambil peran dalam kehidupan jaman modern ini.

Sesukses apakah adat Batak hingga kini?

Dalam Catatan Pinto terlihat bahwa tahun 1539, Sultan Aceh Sultan Araadin (seperti yang ditulis pada catatannya), telah menundukkan Kerajaan Batak, sesuai suratnya pada Raja Jantana di Bintan.
Artinya dalam mempertahankan agar Bangsa ini tidak musnah setelah kejatuhannya Raja Batak telah mengangkat semua anaknya Menjadi Anak Raja semua Putrinya menjadi Boru Raja (Putri Raja), tidak ada lagi yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, semua bias berputar dan semua bias merasakan, setara-serasa-selaras (meski teori ini masih harus di kaji lebih dalam).

Sesukses apakah peninggalan leluhur itu? Sesukses keberadaan kita saat ini di panggung Nasional dari segala bidang, meski kadang himpitan tetap terasa.

Tapi di jaman ini terkadang ada banyak dari kita yang bermarga yang menolak Batak meski memakai marga atau terkadang terdengar “hari gini masih bicara adat batak?”. Seolah menistakan apa yang telah dilakukan nenek moyang kita yang membuat kita saat ini lebih besar dari Aceh yang meruntuhkan Kerajaan Batak dulu.
Ada dari berbagai kalangan yang mengidentikkan Adat Batak itu adalah adat kaum kafir, tanda menyadari atau mencoba mengerti bahwa kekafiran dan kebebalan nenek moyang dahulu membuat itulah yang membuat eksis dan bangga akan menyematkan marga di nama kita saat ini.

Bahwa kekafiran itu ada pada Adat Batak menurut agama Samawi (katakanlah kebiasaan yang menduakan Tuhan) bukankah kita bisa mengenalkan Tuhan kita yang lebih berkuasa atas yang lainna? Adakah nenek moyang di alam sana akan keberatan jikalau kita menyembah pada Tuhan yan tidak mereka kenal, Tuhan yang bisa kita tunjukkan sebagai paling berkuasa dan terkuat? Tidak akan ada Nenek Moyang entah pun berada dimana tidak akan bangga jika kita mempunyai Sembahan yang benar.

Ketimbang hanya mencela, menjauh dan menghakimi sementara tanpa kita sadari hal itu adalah keegoisan kita akan sebuat Iman atau mengutip seorang teman menyebutnya sebagai "Kesombongan Iman". Sebuah sikap pengecut yang  sebenarnya tidak disukai semua agama dan kepercayaan karena dalam pandangan saya sikap itu hanyalah sikap yang ingin menyelamatkan dan menyenangkan diri sendiri semata.

Dan tidak aka nada nenek moyang sebenarnya yang dalam bentuk apapun itu akan mencelakan kita karena kepercayaan dan Iman kita berbeda dengan mereka, terlebih kita bisa menunjukkan bahwa Tuhan yang kita sembah adalah penguasa sesungguhnya maka mereka akan bangga akan pilihan kita. Hanya mampukah kita menunjukkan bahwa Tuhan yang kita percaya adalah lebih berkuasa?

Mari terus menggali dan mengembangkan (merubah jika perlu) adat dan peradaban Batak, karena pesan itu telah nyata, mengutip Prof. Uli Kozok dalam sebuat diskusi mengatakan bahwa ada kemungkinan nenek moyang Batak yang mengenal tulisan itu tidak menuliskan aturan/adat agar adat itu bisa flexible dalam dalam kehidupan. Sehingga kita bisa meraasakan sekarang bahwa adat di tiap daerah itu ada perbedaan dan keragaman yang dalam bahasa Dos Ni Roha, Riah Ni Uhur, Sada Arih/Sada Ukur adalah kekayaan yang luar biasa.

Perbedaan yang telah memunculkan kemampuan diplomasi dan lobi yang luar biasa, sehingga Batak sangat tampil dan akan terus tampil dalam Politik, Ekonomi, Seni dan Sastra, Pengacara, dan hampir semua aspek kehidupan berbangsa, adakah ini kebetulan atau ini tempaan dari kehidupan adat? Inilah sebenarnya kekayaan Adat itu dimana kita terbiasa menghadapi perbedaan dan siap untuk itu, meski ironisnya Batak itu cenderung Jago Tandang tapi Kandang masih berantakan. Atau ini juga adalah karena ketidaksiapan masyarakat kampung atas perbedaan dan perubahan? Masih perlu pengkajian mendalam.

Sumber : batak.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar