Beginilah Seharusnya Putra Batak Pejuang Lingkungan
Danau Toba seperti Bidadari yang
semakin tua dan tidak mampu merawat diri, dimulai suhu yang semakin panas
akibat penebangan hutan, bau menyengat akibatnya peternakan Babi yang
kabarnya limbahnya dibuang ke Danau Toba dan juga bau dari keramba apung
yang menyebar di beberapa tempat kawasan Danau Toba.
Para Pejuang yang terusik, yang tak
mau berhenti dan tak habis akal, memikirkan cara untuk membuka hati para
Pemangku jabatan untuk turun dan memperhatikan dan mengambil tindakan dan
kebijakan untuk menyelamatkan Danau Toba, ya 3 Putra Batak yang berhasil
menggondol penghargaan atas andil-nya memperjuangkan lingkungan semakin gerah
melihat sikap Pemerintah ini yang terkesan melakukan pembiaran.
Mereka adalah Marandus Sirait,
Hasoloan Manik, dan Wimar Eleaser Simanjorang.
PROTES: Tiga penggiat lingkungan
Sumatera Utara Marandus Sirait (kiri), Hasoloan Manik (tengah) dan Wilmar E
Simanjorang (kanan), saat melakukan protes dan akan mengembalikan berbagai
penghargaan yang pernah mereka raih karena rusaknya ekosistem region kawasan
Danau Toba di Taman Beringin Medan, Jumat (2/8 Analisadaily.com)
Adalah Marandus Sirait yang
dianggap Gila orang disekitarnya karena memikirkan proyek untuk jangka waktu 20
tahun kedepan yang menghijaukan dan mengindahkan tanah ulayat keluarga seluas
40 hektar, termasuk bagaimana gilanya dia sampai menjual barang-barang seperti:
lemari, kulkas sampai alat masak untuk membangun obsesi Taman Eden 100 di tanah
leluhurnya yang sudah menghabiskan puluhan juta dari dia dengan keadaan ekonomi
yang pas-pas-an.
Tahun 1999 – 2002 dia mulai
membangun dan mulai meraih pelancong di Tahun 2003 . Dia berbuat untuk
suatu bakti untuk tanah kelahirannya yang mengantarkannya menggondol Danau Toba
Award dari Gubernur Sumatra Utara, Piala Wanalestari dari Menteri Kehutanan dan
akhirnya Piala Kalpataru yang bergengsi pun diterima dari Presiden SBY untuk
kategori Perintis Lingkungan pada tahun 2005.
Wilmar Eliaser Simandjorang,
mantan Pejabat Bupati Samosir, adalah penerima penghargaan Danau Toba Award
diterimanya pada tahun 2011 dari Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dalam
kapatitasnya sebagai Ketua Badan Pelaksana Badan Koordinasi Pengelolaan
Ekosistem Kawasan Danau Toba dan dan Piala Wanalestari dari Menteri Lingkungan
Hidup Zulkifli Hasan pada tahun 2011. Yang tentu berbeda dengan Bupati
Saat ini yang ikut andil dalam penebangan kayu di Samosir.
Hasoloan Manik yang juga Ketua
Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (PILIHI) meraih
Kalpataru dalam kategori penyelamat lingkungan pada tahun 2010.
Ketiga Pahlawan Lingkungan
asal SUMUT ini tidak sudi terbuai dan ninabobokan dengan Penghargaan yang
mereka terima.
Tamparan Keras pada Gatot Pujo
Nugroho dengan pengembalian Danau Toba Award 2 Agustus lalu, seperti tidak
membuatkan hasil apapun, dan entah karena alasan apa hingga Gagot Pujo Nugroho
hanya mengirimkan Sekretaris Daerah Nurdin Lubis yang mencoba membujuk agar
menunda pengembalian Penghargaan ini, apakah untuk se level Gubernur masalah
lingkungan ini adalah masalah biasa?
Nah tentu kita tunggu sekeras
apa efek “tamparan” yang akan dirasakan Menteri Kehutanan dan Presiden SBY pada
3 September 2013 jika Piala Wanalestari dan Kalpataru di kembalikan di Lapangan
Monas, semoga “tamparan” ini benar-benar bisa membuka mata dan pikiran beliau
dan semua yang pejabat yang berwenang akan lingkungan hidup dan pelestariannya.
Bagiamana mereka merasa tidak nyaman karena disaat mereka terus bekerja dan berbakti untuk lingkungan di satu sisi, malah harus melihat dan merasakan perusak lingkungan bergerak cepat dari sisi lain melalui legalisasi dari Pemerintah yang juga bersamaan memberikan penghargaan pada Para Pejuang Lingkungan.
Lihat Pohon Pinus yang dulu memberikan keindahan luar biasa pada Danau Toba sudah seperti pohon langka saat ini.
Berjuanglah Saudaraku, doa dan semangat kami menyertai.
Sumber : batak.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar